Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903.
Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki
enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi
intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad
Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka;
dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya,
Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School
(AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala
dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat
untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belkalian harus diurungnya
dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di
Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak
menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar
Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade
1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya
pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra,
sebuah jurnal berbahasa Belkalian pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya
masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra.
Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah
diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober
1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin
dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu
tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken
Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang
sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang
dipinjamnya dari literatur Belkalian. Walaupun Yamin melakukan banyak
eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma
klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih
muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga
menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan
Rabindranath Tagore.
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta.
Ketika itu ia bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun
ikrah Sumpah Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar
tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasal dari Bahasa Melayu,
sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi Indonesia Muda, Yamin
mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan. Kemudian
setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa
utama dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian
bekerja dalam bidang hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama,
Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama
Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia mendirikan Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai anggota Volksraad.
Semasa pendudukan Jepang (1942-1945), Yamin bertugas pada Pusat
Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh
pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar